hari ini “baru” memulai

Standar

Rabu, 26 Januari 2011 : Pagi Pukul 10 lewat beberapa menit :: Waktu Indonesia Tidore.

Hanya bermodal nekad dan otodidak dibantu om google, maka lahirlah blog ini___ wadah menampung coretanku, biar kelihatan kekinian punya blog sendiri gitu. hehe

WELCOME to my room-“Coretan Yush”

salam : ‘Yush’ Abubakar
Tidore – Indonesia

KOTA-ku BERGAYA mengundang BENCANA

Standar

Memasuki bulan berakhiran BER, kita selalu diperhadapkan dengan situasi cuaca yang sedikit mengamuk. Cobaan mendera hampir di seluruh bagian bumi, tak terkecuali Indonesia, tak terkecuali Maluku Utara, dan tak terkecuali pulau kecil kita – Ternate dan Tidore sekitarnya.
ternate 1111
Berita banjir di Jawa bagian tengah, ombak yang mengamuk disebagian daerah, bahkan dini hari tadi di Ternate (02/12) angin dengan kecepatan tinggi menyerang bagian tengah dan selatan kota, pohon tumbang dan beberapa fasilitas rusak hingga mobil tertimpa. Doa melalui Tuhan medsos-pun dipanjatkan via status dan twit dimana – mana.
Kita sepatutnya bersyukur, karena alam yang akhir – akhir ini tak kita hargai lebih memberi kenyamanan dibanding ketidaknyamanan didalam 365 kali terbit matahari-Nya, Penghuni Ternate misalnya, begitu enjoy membuang sampah di tempat yang mereka suka, bukan ditempat yang disediakan. Pemerintah kota atas nama pembangunan, atas nama prestasi dan karya, melakukan terobosan pembangunan dengan dalil penataan, membetonkan segala rupa tempat, mempersempit jalur air, mengurangi daerah resapan, bahkan menimbun laut tanpa mempertimbangkan dampak yang terjadi nanti dan nanti.
Dizaman Now ini, Pemda lebih asik mengedepankan karya dari pada mengkalkulasi dampak – padahal karya yang nantinya dihadiahi dampak negatif sebaiknya tidak di jadikan make-up wajah pemerintah semata, demi memuaskan nafsu akan kekaguman dan pengakuan rakyat bahwa mereka telah berbuat, mereka telah melakukan sesuatu yang nyata, dan mereka dinyatakan berpihak.
Wilayah bagian tengah yang dijadikan pusat kota Ternate adalah wilayah dengan elevasi paling rendah Pulau Ternate, hal ini nyata terlihat dengan genangan air yang membentuk rawa selama ini. Beberapa tahun belakangan, area resapan dan “bak penampung akhir” dipersempit untuk membangun fasiltas yang sebagian adalah untuk memberi jamuan ekslusif kepada pemilik modal dengan ruko, hotel, maupun fasilitas hiburan dan belanja. Sepanjang area Kalumata sampai dufa – dufa di-reklamasi untuk perluasan area, padahal volume air laut tidak berkurang, karena teorinya, air tersebut hanya tergeser ke tempat lain yang mengakibatkan area tidak bertembok talud menerima nasib, Tidore kena dampak luarbiasa dari kebijakan pembangunan Ternate. Padahal sebagian SDM di Pemerintah Kota Ternate yang kita kenal saat ini adalah orang – orang dengan kemampuan diatas rata – rata dalam hal perencanaan pembangunan daerah.
Sebenarnya problem kota ini jika di jadikan topik diskusi, akan menjadi topik dengan pembahasan terpanjang karena saling terkait sana – sini. Disaat kita bicara ekonomi kerakyatan, space untuk mama – mama lokal penjual BARITO sangat tidak memadai, namun Pemkot malah memberi ruang istimewa untuk perantau dengan lapak buahnya, ruko yang nyaman menjual sampai mengambil sebagian bahu jalan, hingga gedung bertingkat yang akan memberikan rasa plus-plus pada penikmat fashion kelas menengah keatas-pun disegerakan. Lebih mementingkan tempat ekslusif bagi retailer fashion dibanding mama – mama penjual barito. Pertanyaannya, kota ini mau dijadikan kota Fashion atau karena investasi retailer lebih mengenyangkan daripada jeritan mama-mama dan bibi-bibi diruang sempit yang hanya berkontribusi seribu rupiah per hari untuk kota ini.
Apakah tempat yang begitu luas di kota ini hanya untuk mereka yang dianggap mampu mendongkrak kebutuhan politik dibanding mereka yang sering menjadi komoditas politik. Saya sedikit kesal, karena rakyat butuh tempat, yang diberi ruang adalah mereka yang bertujuan menarik keuntungan dari Ternate untuk dibawa keluar.
Ternyata sudah melenceng dari topik awal, kembali ke laptop.
Kita harus menyadari bahwa reaksi alam adalah dampak dari aksi berlebihan kita semua. Lebih dari itu, semua pihak sudah harus berikhtiiar karena gaya membangun dan gaya hidup kita sesungguhnya hendak memanggil – manggil bencana untuk datang menghampiri. So, Jangan selalu dengan mudah menyatakan bahwa Alam sudah tidak bersahabat setiap kali terjadi bencana atau ketika semua yang terjadi tidak sama persis seperti yang Anda harapkan.
Semesta ini hidup, Alam punya perasaan. sudah begitu baik selama ini terus saja dinikmati tanpa dijaga, sudah sama sekali tak mengeluh, masih saja dinyatakan “sudah tidak bersahabat”. Jangan sombong jadi Manusia, jangan terlalu bangga telah begitu tidak tahu diri sebagai Makhluk Tuhan. BAGITU DULU E….. (logat Ternate) (*)

BELANDA(nya) PRIBUMI

Gambar

“Dulu, kita semua Pribumi di tindas dan di kalahkan. Kini telah Merdeka, Kini saatnya kita menjadi Tuan rumah di negeri sendiri” (Pidato Perdana Gubernur DKI Jakarta, Anies R.Bawesdan)
Pidato dengan menyelipkan kata Pribumi yang menjadi sorotan netizen hingga menjadi trending topik di media sosial sampai saat ini, seakan kembali membelah kita dalam dua kelompok besar pasca pilpres dan Pilgub DKI Jakarta. Yang pro memepertahankan bahwa rangkaian kata dalam Pidato tersebut tidaklah melanggar aturan, sedangkan yang kontra lebih mempermasalahkan karena menganggap kata tersebut bermuatan rasis.
Saya dan sebagian orang mengganggap hal ini sebagai hal yang biasa saja, karena sebagai politisi yang kini memangku jabatan politik, Gubernur Anies wajar menunjukan rupa dan gaya politiknya, melepaskan sindiran ataupun menegaskan citra adalah bagian dari genre politik masa kini. Namun, saya kemudian terusik dengan klarifikasi beliau ketika ditanyakan wartawan, beliau memberikan statement kontroversi bahwa yang beliau maksud dalam pidato tersebut adalah pada era kolonial, karena di kota dan pelosok lain tidak melihat Belanda secara dekat, yang melihat Belanda secara langsung hanya di Jakarta. Kalimat pertama yang keluar dari mulut saya adalah, “inilah sejarawan –pribumi – yang paling konsen mempelajari sejarah masuknya kolonial Belanda di Indonesia”.
Bangsa Eropa masuk ke Indonesia tentunya hanya karena satu tujuan yakni mencari sumber rempah, oleh sebab mereka hanya bisa mendapatkan rempah dari pedagang Gujarat India dan dari Pedagang Arab yang membeli langsung dari sumbernya dan menjual dengan harga yang cukup mahal di jalur perdagangan yang disebut Jalur Sutra. Primadona rempah saat itu adalah cengkeh, yang oleh Spanyol “berasal” dari Tidore. Merujuk ke kata yang di gunakan yakni “berasal”, maka cengkeh saat itu tidak tumbuh dimanapun, sehingga untuk mendapatkan jumlah yang memadai disertai keuntungan yang besar, maka mereka harus mencari sampai ke tempat asalnya cengkeh. Penemuan pulau cengkeh oleh Armada Spanyol melalui perjalanan mengelilingi bumi yang diasumsikan datar oleh mereka menjadi titik balik dari sebuah sejarah panjang panjang dunia, dan bukan hanya di Indonesia.
Terpukau atas keberhasilan Spanyol dengan kembalinya kapal Victoria dari Tidore yang bermuatan penuh Cengkeh, memantik minat bangsa Eropa lain seperti Portugis, Inggris dan Belanda untuk mengikuti jejak Spanyol. Perburuan Cengkeh melahirkan persaingan dagang diantara mereka untuk menguasai sumber rempah tersebut. Dan untuk menguasai sumber rempah maka wajib menguasai terlebih dahulu jalur perdagangannya seperti Malaka, Batavia, Seram, bahkan Filipina. Dari beberapa negara eropa, Belanda-lah yang paling ngotot dan agresif melakukan cara – cara kotor yang kita kenal dengan penjajahan. Strategi penaklukan dengan Agresi, maupun mengikuti cara Bangsa Arab dengan dakwah dan syiar Islamnya untuk merebut hati Penguasa wilayah rempah-pun dilakukan Belanda dengan Misi Penginjilannya. Namun, bla.. bla … bla, hingga 350 Tahun berada di Wilayah Nusantara, Pulau Cengkeh dan sekitarnya tak dapat ditaklukkan Pihak Belanda, walaupun membentuk koloni dan menggandeng beberapa negara sebagai sekutu.
Sultan Amiruddin Syah (Jou Nuku) ketika meninggalkan Tidore, menitipkan Pengamanan dan keselamatan Pulau kepada Jou Sangaji di Mareku dengan Pesan : “Ifa no eli lada, Bala ma jou Lada ua” (Jangan ber-tuan kepada Belanda, Belanda bukan Pemimpin Rakyat). Apakah pesan Nuku ini disebabkan karena Belanda melakukan ancaman dari Jauh atau menjajah Tidore hanya dari Jakarta, tanpa menginjakkan kaki di Pulau itu atau ketika itu Para Sultan Di Moloku Kie Raha hanya mengikhtiarkan rakyatnya walau sebenarnya Belanda tak terlihat di wilayahnya. Saya memanglah seperti Pak Anies, tidak terlalu jauh menelusuri sejarah, cuman saya sedikit tergelitik oleh sebab statement pembelaan diri tersebut memiliki bobot yang konyol bin lucu di kalangan awwam seperti saya.
Nah, adanya pernyataan bahwa Belanda hanya dapat dilihat langsung di Jakarta membuat saya spontan menulis kalimat di media sosial bahwa memang benar hanya dapat dilihat langsung di Jakarta, yakni Belanda yang datang sebagai Timnas sepak bola-nya, karena Belanda yang datang sebagai penjajah, hanya menguasai Jakarta karena merupakan Jalur dagang, bukan sumber rempah yang mereka cari. Bukti sejarah yang terhampar di negeri para raja (Maluku Utara), jangan kalian dustai dengan meng-iya-kan statement serta mendukung mem-babi-buta tokoh politik masa kini idola kalian. Jelas, sebagai Putra Kie Raha – kami tersinggung jika ada yang membenarkan pernyataan Gubernur Anies tentang kolonialisme yang beliau maksudkan. Kami tetap melawan sampai beliau menarik kalimat tersebut dan meminta maaf kepada seluruh rakyat negeri ini yang haqqul yaqin, Belanda tidak hanya bercokol di Jakarta.
Fort Oranje
Ada jejak kolonialisme Belanda disini, di belahan bumi yang di huni oleh orang – orang yang taat dan setia pada negeri ini, entah berstatus pribumi atau non-pribumi versi-mu. Pak Gubernur Jakarta yang terhormat, meskipun kami tak bisa memastikan asal – usul kami, setidaknya lima sampai enam generasi diatas kami, masih dapat kami pertanggungjawabkan bahwa mereka lahir dan berketurunan di negeri yang kini terbelah dua hanya karena pro dan kontra oleh sebuah kata sakral darimu : PRIBUMI. (sambung). (*)

PENASARAN

Gambar

Walau berusaha untuk tak terusik, tetapi masih tetap hidup dan makan dari wilayah bumi yang diberi nama Indonesia.
Episode menuju Pilpres 2019 kah, atau hanya skenario “biasa” dalam drama menuju masa depan Indonesia. Sebagai awwam, saya pasti tidak bisa menerka klimaks yang dituju dari episode – episode yang liar menggelinding membentuk rupa yang masih buram seperti saat ini.
Bagai angin yang berhembus, terasa bahkan kadang merusak tetapi tak terlihat wujudnya. Bagai hantu, gentayangan menakut-nakuti, namun kadang lenyap tak terlihat lagi.
Hembusan isue adanya hantu PKI yang bangkit lagi, demo berjilid-jilid, unjuk rasa bunga dan Lilin, kabar kriminalisasi ulama, radikalisme dan terorisme, Pancasilais dan gerakan anti pancasila hingga ujaran – ujaran kebencian, opini dan status provokasi di medsos, broadcast polarisasi di setiap grup WA, de el el.
Yah, kalo diamati dan boleh disimpulkan itu semua jika diladeni hanya akan menjadikan kita tertinggal karena kehabisan energi dan kreatifitas untuk hal positif dalam membangun negeri, tetapi apa yang bisa kami lakukan sebagai awwam yang hanya terus-menerus dijadikan sebagai penerima dampak dari permainan dan drama panjang ini.
Plus-plus-nya, tokoh muda di jazirah Maluku Utara-pun terlihat begitu asik bergosip, ikut menggelindingkan isue yang sesungguhnya tidak ada gunanya untuk kemajuan Maluku Utara, hingga ada yang menunjukan kemampuan plagiatnya mengolah gambar dan tulisan yang didapat dari om google dengan tujuan memperluas semangat saling hujat, bahkan mencoba menjadi tokoh penting dengan bermain di media untuk ikut meracuni aktivis dan orang awwam seperti kami dengan tujuan yang masih samar tetapi mudah dibaca orang yang “sedikit jeli membaca”.
Akhirnya, kami sebagai anak negeri ini hanya bisa menunggu akhir episode dari seluruh rangkaian peristiwa saat ini. Menunggu akhir dari Fitnah atau Fakta, menunggu ujung dari tujuan mereka yang sering berapi-api seakan mencerahkan, menerjemahkan situasi, menunjukan skill beretorika, atau sekedar provokasi untuk maksud yang lebih besar. Ataukah, ini hanya upaya dukung mendukung tidak jelas manfaat untuk kami yang selalu diusik oleh akhir kisah mereka yang egois itu.

Endingnya, kami pasti menunggu kebenaran ataukah fitnah yang menyerang bak virus kami beberapa waktu terakhir : 1. Penasaran atas wujud dari Hantu PKI yang katanya telah bangkit dari alamnya. 2.Penasaran bahwa apakah (maaf) oknum ulama dikriminalisasi atau benar adanya perbuatan oknum. 3. Penasaran pada saktinya Pancasila dan siapa pengecut yang berusaha merubah pondasi NKRI 4.Penasaran bahwa tujuan akhir adalah upaya dukung mendukung, atau mereka yang kerap memposting status “miring” adalah benar karena idealis, benar-benar intelek, atau benar dan benar orang benar.

Semoga kondisi ini, ibarat minuman yang disuguhi bukanlah racun. Karena apabila racun, maka haqqul yaqin keracunan massal ini telah melumpuhkan semangat dan niat baik orang – orang yang benar – benar baik membangun negeri ini.

 

~ Jangan menelan mentah apapun yang diberikan
~ Pastikan kandungan minuman sebelum diminum
~ Selamat Menikmati Ritual – ritual Ramadhan

KRIMINALISASI?

Standar

Jika saya seorang Pemimpin kelompok besar, berurusan dengan Polisi karena prilaku pribadi sekalipun, biasanya anak buah saya yang fanatik dan tak faham fakta akan tampil dan memasang kuda – kuda untuk membela, apalagi jika saya adalah pemimpin yang bercitra baik dimata mereka.

Sukses Pencitraan, akan melahirkan pengikut fanatik yang militan.

Setiap pemimpin memiliki pengikut, ada yang setia- ada yang hanya ikut-ikutan seakan setia. Jika kesetiaan berstadium lanjut, maka apapun kondisinya, akan membutakan mata dan nurani untuk berjuang melakukan pembelaan dengan segala cara.

Kondisi terkini, pemuka agama atau pemimpin ormas agama di Indonesia berurusan  hukum di Indonesia – entah bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum Agama,  maka berseliweran OPINI adanya KRIMINALISASI.

Pola permainan opini ini memang cukup efektif untuk meredam kesan buruk khalayak banyak pada Pemimpin tersebut, namun Polisi akhirnya yang dijadikan kambing hitam atas upaya pembelaan dengan hembusan opini kriminalisasi. POLISI dikesankan sebagai alat kekuasaan Pemerintah, Polisi dijadikan musuh orang – orang yang menganggap kepentingan kelompoknya dihalangi kemudian menyebarkan kebencian ke masyarakat dengan opini – opini yang “kadang sesat”.

Kembali ke kondisi update saat ini, melalui pengamatan awwam saya mengatakan bahwa kemungkinan juga ini upaya kriminalisasi, karena ULAMA yang dimaksud sering berdiri diposisi kontra dengan Pemerintah, sering berhadap – hadapan dengan kekuasaan. Selain bergelar Imam,  beliau katanya memiliki garis turunan dari Nabiullah Muhammad SAW, maka dirasa sangat mustahil melakukan perbuatan keji seperti yang dituduhkan. Beliau dengan ormasnya sering berlaku kasar terhadap orag – orang atau tempat – tempat maksiat karena berkeyakinan merusak akhlak dan generasi di negeri ini. Jadi disatu sisi saya sepertinya setuju dengan pendukung fanatik beliau – yah, INI KRIMINALISASi.

Tetapi disisi lain, melalui You Tube dan media sosial, kita diperlihatkan rekaman ceramah – ceramahnya seperti berwibawa “orang biasa” dibanding karakter ulama yang kita banggakan. Sering mencaci, menghina, memprovokasi, dan kesan lainya yang membuat saya begitu malu menyatakan beliau sebagai Amir dan Ulama di negeri ini- untuk saat ini – dan mungkin seterusnya.

Beliau dilaporkan atas perbuatan dan ujaran – ujaran kebencian dimana – mana. Hinaan terhadap ini dan itu, bahkan pada dasar Negara Republik Indonesia, bahkan di era dua Presiden sebelumnya, oknum ini harus berada didalam jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan prilaku pribadinya, sehingga menggugurkan keyakinan saya bahwa beliau adalah Ulama ~~ Ulama tidak membuat gaduh, ulama meredam bukan menyerang, ulama memberi kesejukan bukan memanasi suasana, ulama itu pemimpin umat yang menunjukan identitas dan contoh suri tauladan Islam yang rahmatan lil alamin.

Jika ada yang masih mempertahankan status beliau sebagai Ulama, maka sebagai muslim saya berpendapat berbeda. Mari kita sepakati bahwa yang masuk ranah hukum atau berurusan dengan hukum di negara ini adalah Oknum, jangan bawa lagi gelar atau sebutan (apalagi gelar agama), karena jika terbukti maka bukan oknum itu saja yang malu tetapi umat yang terus meng-“ulama”kan oknum tersebut ikut menanggung malu yang berimbas pada wibawa Agama. HENTIKAN upaya intervensi hukum dengan menggunakan tekanan massa dan ancaman – ancaman lain, jika ada oknum disangkakan melanggar hukum di negeri ini, dan selebihnya lagi – yang bermasalah dengan hukum sudah pasti adalah orang yang memiliki kualitas iman rendah seperti kita – kita, bukan ulama-bukan Amir.

ULAMA itu panutan, pemimpin, dan penuntun tetapi ULAMA juga manusia biasa – Yah, ULAMA-PRESIDEN-POLISI-KITA SEMUA tak akan pernah luput dari khilaf, salah dan Dosa (*)

 

#LP : Ke_Adil_AN

Standar

Yush Abubakar (Dari Status Medsos)

Maaf,
beberapa copas 7 juta status yang menambah tagar dengan klaim seakan adanya Islam khusyu dan ada Islam KTP terkait Kasus HRS saat ini, perlu sedikit diberi masukan krn bumbu tsb. Tdk menambah rasa enak utk disantap.

Semangat ini krn adanya gerakan yg dimainkan agar menghilangkan kepercayaan publik kepda Kepolisian RI bhw kasus yang ditangani Polri adalah bentuk kriminalisasi, bahkan disematkan kata Ulama sesudah kata kriminalisasi.

Tabea, menurut pandangan saya yang juga Islam, entah Islam KTP atau khusyu (urusan ini hanya saya dengan Allah SWT), bahwa yang bermasalah dgn hukum di Indonesia adalah oknum, entah di aktivitas kesehariannya bergelar apapun. Krn FH yang sudah tersangka tidak dibela sedemikian rupa hanya krn tidak ada gelar khusus atau seperti apa.

Tidak masalah, gerakan politik dengan cara memviralkan sesuatu dizaman digital ini adalah hal lumrah, krn mudah menggerakkan org banyak dgn sekali menulis dengan kontent yang benar atau tujuan permainan dan propaganda sekalipun. Tetapi, klaim suci dan memberi sematan kpd yang lain sbg kafir-Islam KTP-dll mohon dihentikan, tdk merangkul malah memecah belah umat.

Bla.. bla.. bla..
Hemat saya, 7 juta status sekalipun masih lebih mudah kita mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dengan kehadiran 1 orang saja.

Masih lebih efektif dan tdk menyesatkan pandangan umat kita thd pemerintah dan Polri jika sattu org datang dibanding 7 juta status yang sengaja di viralkan.

PANCASILA

Standar

Entah karena apa, hari Lahir Pancasila yang di Keppres-kan Tahun lalu baru dipermasalahkan saat ini.

Entah karena apa, lahir slogan SAYA INDONESIA-SAYA PANCASILA

Entah karena siapa, PANCASILA seakan diperebutkan untuk dimiliki sendiri – sendiri

Entah karena trend, atau Entahlah

Pancasila itu dasar negara yang diletakkan Founding Father Bangsa

Spesikasi yang kuat untuk pondasi sebuah Negara bernama Indonesia

Jadi, jika mau merubah Pondasi, maka semua bangunan Negara diatasnya dirobohkan dulu

Tanpa dirobohkan, maka akan ada bangunan dalam bangunan

Menggeser posisi pondasi, terancam ditimpa puluhan kubik material bangunan

Membongkar pondasi, berarti membangun baru

Bangunan Indonesia sudah terlalu besar untuk mengganti pondasinya

Kuatkan saja pondasinya, bukan membongkarnya bahkan mengganti

Kuatkan saja Keyakinnan Beragama

Kuatkan saja nilai- nilai Kemanusiaan

Kuatkan saja persatuan dan kesatuan

Kuatkan saja semangat kegotong – royongan

Kuatkan saja semuanya, biar adil, biar merata

Kuatkan saja ke-Bhinekaan kita

Ikrarkan saja setulus hati :

SAYA DI INDONESIA YANG BERDASAR PANCASILA, BUKAN YANG LAIpancasilaN